Sunday, November 9, 2014

Emotional Week

It's been an emotional week for me and sometimes I reached a point where I couldn't handle it anymore. I cried a lot, like a lot. Many things happened this week and I couldn't do anything but stay still.
I did a great work for my job, I reached more than just a target, but it seems my boss didn't appreciate it at all. Moveover she even mocked me for being..... me. She told me to not be creative. It's like what the f?
It's went on all days straight and I even got stress out.
Forget about the works and stuff, I got myself a mental crushed thanks to certain people. Well, who needs heart anyway? You can be all mean and underestimate other's feelings. I think it's been an unfair week for me.

Saturday, November 8, 2014

Damn Encounter

This is the third time I had sudden encounter with you. Without any plan or thoughts I meet you again, moreover in a week straight! I still hate the way we bump, though. I hate it. I just hate everything about you. But you just there, looking at me like nothing happened.
"Tiga kaliii aja." You said with awkward giggle. "Sekali lagi dapet piring cantik."
Then you picked up your cup from the cashier.
"Hm."
I couldn't find the best answer for your ridiculous statement. All I want was running away from that damn coffee shop (though it's my favorite coffee shop) after I punch your nose.
Thank you for giving me hatred towards you, but no, thank you for burning that feeling again. Once again.
For whole my life, why can't I be free from your existence?!

Sunday, November 2, 2014

Shit Happens Sometimes

"Kepingan puzzle lama yang minta dimainkan, padahal sudah rapi tersimpan dalam lemari. Kunci atau rantai kayaknya nggak bisa menahannya keluar lagi."

I thought it would be different if I ever meet you again. I thought it would only hate I kept for your existence. I thought all would be different. That, once again, my predictions and ridiculous thoughts were only a play toy. You came unexpectedly, out of nowhere. Even when our appearances were beyond different I came out knew it was you and so do you.
That voice. That gesture. That eyes.
Things I already forgot, buried under the solid feeling named hatred. You put down your phone, hung on your call, and stopped your step. In a second you destroyed it all with one simple calling.
"Deb...?"
You called out of curiosity, making sure if it were me.

Oh shit.

Saturday, October 25, 2014

Ultimate Bad Day

So....
It's been a rough day. I was having maybe the bad day ever this year. 
Gue pikir nggak akan pernah gue nangis tahun ini, karena gue ngerasa fine-fine aja. Gue suka hidup gue. Keluarga gue masih lengkap, sehat, kenyang. Temen-temen gue semuanya sayang sama gue. Gue single, tapi gue lebih banyak senengnya daripada sedihnya. Keuangan gue baik. Kesehatan gue stabil.
I thought I was fine.
Siang ini karena suatu hal yang (sebenarnya) udah gue tumpuk berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan tanpa bisa gue ceritain sama orang lain (well because there's no one to share) akhirnya meledak dalam waktu 15 menit. Selama ini gue bertahan di maki-maki, di marahin tanpa alasan... cuma karena sebaris kalimat di KTP gue, rupanya itu yang bikin gue beda dan akhirnya perlakuan ke gue pun juga beda.
15 menit.
Di rendahkan di depan banyak orang, bagaikan di tampar sana sini. Dipermalukan. Dihina.
Gue bisa cerita ke siapa? Temen-temen gue pada jauh tinggalnya. Keluarga gue... nggak banyak membantu, karena kami pun lagi sibuk sama bokap. Temen-temen kantor? Jangan ditanya.

Padahal gue lebih banyak memainkan peran "tempat sampah" belakangan ini. Atau kadang "orang serba bisa". Tergantung temen/keluarga gue ini perlunya apa. Gue lebih banyak mendengarkan dan menghibur. Tapi disaat gue kayak begini, mereka kemana? Asyik dengan masalah mereka yang sudah terselesaikan.

Gue cuma bisa ambil tissue, permisi ke toilet sebentar, nyalain keran, dan nangis sepuasnya. Gue pake kacamata gue seharian untuk nutupin mata gue yang kayak bola bekel, bengkak parah. Gue harus bisa menghadapi ini. Harus bisa.
Sendiri.

Wednesday, October 22, 2014

Hello Tumblr !

I'm back on Tumblr!
It's been quite time since I post something, so I kind of... forgot.... my password ._. ah well !
So I create this new account and post stuffs a day. My writings seem to be more dramatical and look like poets to me. I kind of like writing like this even though, yeah I'm still bad at it. But I try to be better!
I hope I'll post something more expressive everyday. Just wish me luck!~

Here is my Tumblr link : deborahamadis.tumblr.com

Re:frain ? Why did I pick that title?
So basically it's a word in music. Refrain (or chorus) is a part where you play repeatedly until the next sign to the other part. Refrain is also a part where you leave your first partition of the song and move to the next part. I was thinking "Well, my life sometimes like that." In english, refrain means to hold on something. I've been holding on myself lately and never get to express myself. I think I'll just go wild with my thoughts in this account. :)

Sunday, October 12, 2014

Awkward Moment in Birthday Party

Last Monday was my big brother's (he actually is my cousin but yeah) birthday but we celebrated it last night. We had great feast and more than that, my cousin brought along his girlfriend. She's lovely and kind, and turned out we have same ex boyfriend. -_-
"But I hate him."
"Oh so do I."
And then we laughed so hard. Along with the happiness, my cousin dragged me to someplace quiet and asked me if his girlfriend was really the one for him. Because he didn't feel that way.
"Gue sebenernya setengah hati lho sama dia." kata Kakak gue. "Yang nembak pun dia, gue cuma iya-iya aja.."
"Lo sadar gak sih kak, udah bikin PHP orang? Memanfaatkan tampang lo? Menyakiti hati cewek??'
"Lho, yang mau kan dia."

Bukannya salah sih ya.. Tapi kok menurut gue kalo lo udah siap untuk memulai hubungan, suka atau nggak lo harus serius menjalaninya. Kalau dari awal udah setengah hati ngapain dijalanin sampai ngenalin ke orang tua segala? Ini pendapat gue sih ya.. kalo udah sampai dibawa ke acara keluarga yang sifatnya private kayak gini berarti udah serius kan? Karena pasti berlangsung ke pernikahan. FYI, keluarga gue dari dulu pasti menikah di usia segini.

Sepanjang acara, yang gue liat cuma kakak gue ngebully pacarnya sendiri. Dicubitin lah... diomelin lah... disuruh begini begitu... gue jadi kasihan. I mean, she's lovely! I can't stand this kind of situation actually...

Tuesday, October 7, 2014

Say It!

Gue punya beberapa temen deket. Beberapa memang sangat dekat sama gue, sampai di satu titik mereka bisa seenak jidatnya milih-milih cowok yang mau gue pacarin. Simply because they know me too well.
Diantara temen-temen deket gue ini, ada 2 orang yang lumayan sering jalan sama gue. Seorang cowok dan cewek. Okelah kita sebut si cowok B dan si cewek J.
Sejak kuliah gue sering nampung curhatan mereka berdua dan tentu nggak gue sebar-sebar macam pesona aja.
Tapi ada kalanya gue kejepit di kejadian kayak gini, kejadian yang bikin gue merasa bersalah, merasa gemas, merasa annoying.

B dan J sebenernya udah lebih dulu deket sebelum akhirnya gue masuk di lingkungan mereka berdua di tahun ke dua kita kuliah. Wajar aja kalau misalnya ada rasa lebih yang muncul di antara mereka, tapi sakit banget kalo cuma salah satu aja yang merasa begitu. B naksir J sebenarnya. Dan gue tahu yang naksir J itu nggak cuma dia.... -_- J itu temen gue yang bisa dibilang pinter dalam segala hal, lucu, cantik, dan supel. Siapa sih cowok yang nggak naksir cewek macam begitu?
Gue pun tahu B naksir J secara nggak sengaja, thanks to sifat blak-blakan gue yang suka pelit filter.
"Yailah kalo naksir sih ya naksir aja..." gue bilang ke B waktu itu, bercanda. Dia kelabakan, dan saat itulah gue tebak dia memang naksir.
"Tembak aja lah, gue seneng kok kalo temen deket gue jadian."  Sampai kita graduation pun---yang sebenernya adalah kesempatan bagus buat nembak---dia nggak bilang apa-apa sama J.
"Tapi kan elo tau Deb, dia sama si R."

J memang lagi complicated relationship sama temen gue yang lain, R namanya. Mereka berdua sama-sama suka tapi saling tarik ulur, saling gengsi. Akhirnya selama 3 tahun nggak ada kemajuan diantara mereka. Itu yang sering bikin J galau.
"Ya gue sih jujur suka sama diaaaa. Tapi dianya nggak pernah ngasih respon apa-apa ke gue, Deb." kata J.
"Lah kan jelas-jelas banget dia suka sama lo. Trus apa lagi?? Kok kalian ribet banget sih yaoloh..."

Gue frustasi.

Itu posisi gue selama hampir 3 tahun. Sampai sekarang keadaannya kurang lebih sama -_-
Di sisi satu B curhat tentang betapa sedihnya dia, di sisi lain J curhat tentang betapa galaunya dia karena hubungannya sama R nggak jelas mau dibawa kemana. DAMN, JUST SAY IT ALREADY!! Yaudah siihh.. bilang aja apa mau loo.... kok ribet banget ya hidup? Hidup udah ribet ya nggak usah ditambah lagi ribetnya!

Lebih baik lo bilang apa yang lo mau, daripada setelah telat nanti lo menyesal.


Thursday, October 2, 2014

Deep Condolences

Deep condolences for my dear friend, who just lost his mother.
Gue bener-bener ikut sedih karena dia kehilangan mama-nya, gue ikut sedih karena gue pun pasti shock kalau nyokap gue tiba-tiba pergi begitu aja. Dan gue juga ikut sedih karena dia sedih...

Gue menghargai sekali temen gue yang satu ini, karena apa yang gue omongin sama dia bener-bener tanpa filter, tanpa jaim, tanpa beban. Gue bisa merasa nyaman karena dia pun mau menjaga gue. Gue menghargai dia walau gue belum pernah ketemu sama sekali sampai detik ini.

Tapi kalau boleh jujur, sebenarnya gue nggak tahu gimana pandangan dia ke gue. Apakah gue ini teman chatting pas bosen aja? Atau sahabat? Atau malah jadi pengganggu dia?

Tadi sore gue berharap dia bisa cerita langsung sama gue, tapi ternyata gue malah disuruh ngecek post Path dia. Tapi gue pikir.... mungkin dia lagi semaput, lagi blank nggak bisa mikir apa-apa.

Gue cuma berharap yang terbaik buat dia, tulus dari hati gue. Jangan sampai dia pendem kesedihan dia. Nggak apa-apa dia nggak cerita ke gue, cerita ke orang lain pun nggak apa-apa. Asal jangan terlarut-larut sama kesedihannya karena gue tahu banyak hal yang besar yang di depan dia saat ini.

Happy Birthday Jo!


Happy birthday Jo!
Today's her 22nd birthday and she better celebrate with joy. I really hope for the best for her; all the best and best in her ways. 

Pertemanan gue dan Jo nggak mulus dari awal. Gue malah memulai dengan musuhan, karena gue dan dia sama-sama keras. Dia illustrator, gue pun begitu. Gue merasa selalu saingan sama dia dalam hal apapun. Sampai satu titik gue ada di kelompok yang sama dengan dia di satu mata kuliah yang diajarin sama dosen iblis. Gue bener-bener mengakui gue nggak suka sama dia saat itu. Gue pun sadar dia nggak suka sama gue dan kenyataan kalau gue sekelompok sama dia.

Kita ada di satu titik ketika kita berdua sadar jalan kita berbeda. Kita nggak bisa terus-terusan saingan dalam semua hal khususnya illustrasi. Mungkin gue yang saat itu bener-bener sadar, ini bukan jalan gue.

Kita akhirnya baru bener-bener mulai ngobrol saat tahun ke dua. Walau cuma basa-basi, gue baru tahu dia suka hal yang sama dengan gue. Makin mendekati tingkat akhir, gue mulai percaya sama dia sebagai teman. Gue rasa dia pun begitu. Mungkin karena gebetan dia (yang sekarang jadi pacarnya) sering curhat ke gue tentang gimana caranya mendekati Jo.

Gue bikin short movie untuk tugas motion graphic di tahun terakhir. Konsep udah ada, cerita udah ada, peralatan dan susunan crew udah ada. Akhirnya setelah beberapa kali diskusi, kita pun memutuskan Jo dan gebetannya aja yang mainin film kita. Awalnya mereka ogah-ogahan, karena saat itu mereka lagi diem-dieman karena salah paham. Gue pikir yaudahlah, sekalian aja kalian main film gue sekalian juga rujuk. Setelah berbagai drama dan omong-omongan akhirnya mereka setuju main di film gue. Seneng? Ya dong. Apalagi setelah itu mereka baikan dan ngelanjutin pedekate-nya. Terlebih lagi gue dapet A untuk tugas film gue!

Suatu hari gue dan temen-temen seharusnya janjian makan di McDonald's untuk seru-seruan sehabis kuliah, tapi satu per satu mereka membatalkan janjinya. Akhirnya tinggal kita berdua dan itu awkward. -_-
Tapi endingnya, justru gue bisa tahu masa lalu dia dan keluarganya bahkan hal-hal yang menurut gue sangan privasi. Rupanya dia bukan sesosok cewek pintar dan ambisius, dia juga punya hal-hal kelam yang sampai detik ini terjadi di kehidupan dia. Dan itu cuma gue yang tahu.

Sampai sekarang akhirnya justru dia jadi temen deket gue, dimana gue bisa tanya pendapat dia tentang sesuatu dan sebaliknya, dia bisa melarang gue untuk deket sama cowok ini dan itu, dia bisa dukung gue untuk deket sama cowok yang menurut dia terbaik buat gue, dia bisa curhat seenak jidat dia, dan lain-lain...

So my enemy becomes my best friend, and she's lovely.
Happy birthday Johana, be the craziest friend I ever had and be the star :)

Wednesday, October 1, 2014

Too Close To The Sun



Icarus.
He could be free from Crete and escaped King Minos's Labyrinth with his wings, made from wax and feathers. He could.
His father warned him not to fly too close to the sun, for the wax would melt and he would fall into the sea. But the giddiness of flying, the curiosity about being close to the only light in the world led him to his death. He flew too close to the sun, then the wax melted off of his wings, left his arms flapping in the air without anything. He then fell into the sea in the area which today bears his name, Icarian Sea.

Seharusnya setiap orang punya sebuah garis yang bernama batasan. Sesuatu yang punya embel-embel "terlalu" itu nggak baik. Kamu terlalu dekat dengan matahari, kamu akan jatuh karena sayapmu meleleh. Mungkin gue harus mencegah diri gue sebelum gue terlalu dekat dengan matahari..... sebelum gue jatuh dan sadar gue nggak punya sayap lagi untuk bangkit lagi, terbang lagi.

Sunday, September 28, 2014

Sepatu

Sebuah cerita.
Sederet paragraf bisu untuk kisah sebentarku. Sebentuk pikiran untuk ku ceritakan disini karena tidak mungkin dia mengerti, tidak mungkin dia tahu. Mengagumi dari jauh.

"Aku serigala. Aku liar dan bebas.
Cakarku mantap, menapak diatas tanah hangat dibawahku. Rerumputan menari menggelitik kaki-kakiku, mendukung eksistensiku di bumi ini. Ketika langit senja mencium horizon bumi, ketika seharusnya kaumku bersiap mencari makannya, ketika seharusnya aku menyiapkan cakarku untuk seekor buruan, disinilah aku berdiri; paling tinggi diantara bukit-bukit bunga daisy, paling dekat dengan langit. Aku menunggu. Dan aku terus menunggu.
Seratus enam puluh tiga tarikan napas selanjutnya, datanglah ia, sesosok indah putih bersinar terang tenangkan hatiku. Aku mendamba sang bulan yang setia ikuti aku dalam malam-malamku. Kadang ia turun menjejakkan kakinya atas bumi yang juga kupijak, memberi harapan dalam hatiku. Kadang ia terhalang awan gelap, samarkan terangnya. Aku melolong merindunya. RInduku padamu, wahai bulan.
Dua dunia. Dua eksistensi. Dua keistimewaan. Tapi hanya dia yang kutunggu tiap malam, hanya dia yang bisa memutar balikkan logika dan hasratku.
Aku menginginkannya."



Cerita gue ini datang di otak gue ketika banyak cerita dari temen-temen gue yang kisahnya layak dapet tempat di FTV atau mini drama.

"Kita sadar ingin bersama, tapi tak bisa apa-apa"
"Gue cukup mengagumi dia dari jauh"
"Yang aku tahu aku cinta dia. Gimana nanti ya entar ajalah...."
"Gue cinta dia tanpa mandang dia dari keluarga mana dan gender apa dia."

I live in this dramatical place called earth. Kadang gue sebagai kaum hawa pengen nangis kalo denger cerita yang nyakitin hati gue kayak begitu, walau itu bukan kisah gue.
Gue pun mungkin bisa mencintai seseorang sampai-sampai gue bisa tinggalkan semua alasan eksistensi gue demi dia. Tapi kalau orang itu ternyata nggak bisa melakukan hal yang sebaliknya buat gue, untuk apa gue pertahankan cinta gue ke dia?
Sakit? Ya sakit. Sakitnya kalau ternyata mengagumi dari jauh itu ternyata percuma--cuma menghabiskan energi dan airmata.

"Cinta memang banyak bentuknya, tapi tak semua bisa bersatu"
--Tulus (Sepatu)

Thursday, September 25, 2014

Different Path

Hari ini gue dibuat berpikir sama temen kantor. Bukannya gue nggak pernah mikir... ini otak mau diapain kalo nggak dipake mikir? -_-"
Siang ini saat ruangan gue lagi agak sepi, gue iseng main ke ruangan temen dan ngobrol-ngobrol sebentar. Trust me, we can't do this when my boss is around. Kita ngomongin temen gue ini yang baru dapet kerjaan baru dan mau resign bulan November. Dia berpendapat kalo tempat kerjanya nanti gajinya lebih besar, tempatnya lebih deket dari kos-an (cuma 10 menit jalan kaki), dan tantangan baru karena job desk nya sama sekali beda sama kerjaannya dia yang sekarang.

"Masalahnya Deb, gue lebih nyaman di sini. Gue suka kerjaan gue. Kerjaan gue tuh asik. Apalagi temen-temen disini juga baik sama gue."

Asik?
Disini gue bertanya-tanya dimana asiknya? Sepanjang hari yang gue lihat dia mondar-mandir lantai satu sampe lantai tiga cuma buat ngecek persediaan barang, penjualan barang, dan gak jarang dia kena omel boss gara-gara sesuatu yang bukan salahnya. Gue yang nonton dia kerja aja capek, gimana dia yang ngejalanin?
Dalam hidup gue, nggak akan pernah terlintas untuk punya profesi kayak dia. Berhitung, menjual, negosiasi, ketelitian, lembur..... it's not my thing. Yang gue mau adalah gue bisa berekspresi semau gue... dan kebanyakan profesi yang berkaitan dengan otak kanan cocok sama gue.

"Kerjaan kamu dimana asiknya sih? Aku aja puyeng liatin kamu kerja..." Gue nyablak.
"Lho asik tauuu. Justru aku yang pusing liatin kamu kerja. Bikin box ini itu... gunting-gunting...motong-motong..desain ini desain itu..." jawabnya ngebela diri.
"Kerjaan aku nggak mikir, kerjaan kamu mikir. Hahaha..."
"Bisa-bisanya kamu bikin macem-macem itu tanpa mikir!" terus dia ketawa.

Bagi dia kerjaan gue itu super nggak banget. Bagi gue kerjaan dia itu.... ya perlu banget gue bahas lagi?

Tapi sebenarnya yang bikin gue mikir adalah kata-kata dia yang sebelumnya: Karena gue nyaman.
Kenyamanan kayaknya kunci dari segala hal bagi gue. Percuma lo kerja di tempat yang wow bagi orang lain, tapi lo nggak menikmati semenit pun waktu lo disana. Gue pernah sekali waktu liat post temen di Path: Rejeki nggak hanya datang dari besarnya gaji aja, tapi juga lokasi kantor, temen-temen kantor, nyamannya kantor, dan banyaknya makanan di sana. Seorang temen gue yang juga lulusan desain grafis akhirnya sekarang kerja jadi marketing promotion. Lho sayang banget ilmu desainnya? Ternyata dia lebih enjoy sama kerjaannya yang sekarang. Sesimpel itu.

Seorang cowok tulen nggak bisa dipaksa untuk pakai rok tutu polkadot pink. Ya, kita bisa paksa dia pakai rok itu tapi apa dia bakal pake itu selama 2 minggu? Sebulan? Setahun? Lo bisa paksa dia, tapi itu bukan nature nya. Bukan minatnya. Bukan kesukaannya. Otot-otot kekar di kakinya pasti nggak nyaman dibalik rok tutu pink. Nggak nyaman. Ngeri ya ngebayanginnya?


Sesimpel itu.

Sunday, September 21, 2014

Facts About Me


Beberapa hari lalu rupanya di Instagram lagi heboh-hebohnya 20 Facts About Me Challenge. Mungkin Ice bucket challenge udah memudar, kini orang-orang kayaknya butuh sesuatu yang seru buat sekedar ngisi waktu. Jadi ini sebenernya cuma copy paste dari apa yang gue tulis di Instagram, tapi gue bakal tambahin 10 facts lagi. Here we go:


I just got tagged by @renithia_ and.. oh god seriously, should I really do this? -_- haha kidding

Here's 20 facts about me :

1. BLUNT. I need a filter for every words I say. Gue blak2an.
2. SIMPLE. Gak suka repot.
3. I like yaoi. Yep. I'm a total fujoshi.
4. I like to watch people, alone, in the mall. Then go home.
5. I love my eyes.
6. I can't stand horror.
7. I drink milk tea every day. Everyday.
8. I never ride bajaj. Or kancil.
9. I wish I was a man. 
10. I like to bully people, nicely. In positive way. HAHA >_<
11. I always think music runs in my veins.
12. I HATE RATS. AND HAMSTER. OR RATS.
13. I love rain. 
14. ICE CREAM saves your life when I get mad at you.
15. I adore man who can cook and sing. And smart. Don't forget the brain.
16. I hate my legs. Seriously, they look like chicken wings to me.
17. I have a dream: be an owner of a cozy and comfortable cafe.
18. I have 1300 comics.
19. I don't have bf. At least now.
20. I'm not look like it, but I actually love to write stuffs I don't speak out.
21. I don't like roses. But a dozen of white roses will do nicely. My favorite flower is peony

Peony Bouquet

22. I love japanese food.
23. I wasted my money mostly for body care and treatment. You'll find me hanging around Body Shop or Crabtree and Evelyn every months after my payday. Instead, I don't like to shop for shoes, bags, and clothes... hahaha 
24. I prefer animation movie than romance.
25. I still love disney princess and cartoon.

Saturday, September 20, 2014

Cinta dan Saya

Lima..

Tujuh..

Delapan...

Sembilan tahun.
Atau mungkin lima belas. Mungkin lebih. Waktu yang gue butuhkan untuk belajar tentang sesuatu yang gila bernama cinta. Mostly gue baru sadar ketika gue udah di dasar, sehabis jatuh habis-habisan, terluka, dan berlagak sok kuat.



Cinta dan keluarga.
Nggak akan pernah cukup untuk gue belajar mencintai keluarga gue dan segala kekurangan kelebihannya. Yang gue tahu, selamanya gue gak akan bisa mengganti keluarga gue---suka atau nggak. Udah nggak terhitung lagi berapa banyak drama yang terjadi di rumah ini, tapi kami selalu berakhir dengan tawa. Kesederhanaan bisa menyenangkan. Disaat tahun baru diwarnai dengan hiruk pikuk keramaian kami bisa berkumpul bersama walau cuma sekedar makan makanan cepat saji (karena cuma restoran itu yang buka 24 jam). Cinta gue ke keluarga mungkin kayak obat. Gue benci minum obat, tapi gue tahu itu mendatangkan kebaikan buat gue. Tapi obat pun banyak rasanya. Jadi---meski kedengaran gila---gue suka-suka aja tuh makan obat.

Cinta dan Kekasih.
Tanya gue tentang ini lima tahun lalu. Jawaban gue bakal 180 derajat beda. Dulu gue nggak akan masalah, anyone will do. Tapi sekarang ini gue bergidik geli.
Wajah.
Penampilan.
Kata-kata.
Janji-janji.
Gue rasa itu cuma bedak dan maskara bagi para pria di luar sana. Sama kayak "make up", ulasan bb cream dan eye liner pun bisa menipu dan ngubah sama sekali wajah asli si pemakai. Jadi gimana caranya supaya bisa liat aslinya orang itu? Jujur gue pun nggak tahu, dan mungkin itu sebabnya gue cenderung bangun tembok bagi diri sendiri. Menarik diri sendiri. Nggak peduli sama siapa pun.

Apa yang orang-orang bilang tentang cinta sejati belum pernah gue alami. Gue cuma punya satu teori tentang itu. Gue pun sering memakai "make-up" yang akhirnya menyembunyikan jati diri gue sendiri. Gue bisa senyum tanpa ada alasan untuk tersenyum, gue bisa bersandiwara sehebat-hebatnya tanpa ada seorang pun yang tahu apa yang lagi lari-lari di pikiran gue. Gue menciptakan "make-up" gue sendiri. Mungkin inilah yang jadi semacam tanda bagi gue, disaat seseorang bisa mengerti lekuk mata gue tanpa melihat eye-liner gue, bisa memahami lesung pipi gue tanpa bantuan blusher revlon yang mahal, dan tahu segalanya seakan gue adalah tulang rusuknya..... mungkin... mungkin saat itu gue bakal tahu dia cinta sejati yang dibicarakan orang-orang itu.

Mungkin.

Every Little Step

Kalau sudah besar mau jadi apa?

Pertama kali gue ditanyain begitu pas gw TK entah sama siapa. Kurang ngerti itu maksudnya karena yang nanya itu memang pengin tau atau basa-basi aja. Gue yang waktu itu masih belom ngerti bedanya Sailormoon sama Power Ranger, cuma bengong--celingak celinguk. Gue jawabnya "Komikus" karena gue suka komik. Jawaban itu terus gue pertahanin sampai SD kelas 3. Terus berubah jadi "Pemain Bola" karena gue lagi demen-demennya kartun Kapten Tsubasa, berubah lagi jadi "Detektif" karena lagi heboh-hebohnya Detective Conan, terus berubah-ubah lagi beberapa kali. Kayaknya sifat galau udah mulai berkembang di dalam diri gue sejak gue kecil.

Gue nggak pernah pusingin mau jadi apa nanti. Sampai akhinya gue dihadapkan sama keputusan besar sesaat sebelum lulus SMA.

Kuliah dimana?
Jurusan apa?

Anjir...
Gue aja nggak tau mau ngapain. Beberapa teman mencoba ngasi saran-saran yang sepertinya penting. Masuk sastra Inggris aja, karena katanya gue pinter berbahasa. Serong ke Public Relation aja, karena gue pinter bicara. Akhirnya gue cuma asal daftar aja, kemana-mana jalan sendiri. Singkat cerita pas sadar gue udah di ruang orientasi President University, Cikarang. Majoring in Public Relation.
Selesai? Nggak mungkin lah. Sifat galau gue makin menjadi-jadi seiring umur gue yang mendekati angka 20. Di saat-saat terakhir gue apply pendaftaran major gue, gue minta SPV orientasi gue untuk bantuin gue pindah ke ruangan Visual Communication Design (DKV). Gue cuma seneng gambar. Gue hobi gambar. Menggambar bisa dimasukkan ke salah satu main skill gue. Makanya gue bisa kepikiran untuk masuk jurusan yang terkenal karena ke absud-an nya itu. Rupanya kegalauan gue ini terus gue inget bahkan sampe detik gue mengetik blog ini. Untuk pertama kalinya gue bersyukur sama sifat jelek gue ini.

3 tahun 6 bulan nggak berlalu begitu aja. Gue banyak belajar--nggak hanya dalam bidang design aja, tapi juga dalam kehidupan. Gue belajar untuk nggak terlalu sering menaruh kepercayaan sama sembarang orang walaupun dia kayaknya bisa dipercaya; contohnya dosen.

Melalui 3,5 tahun ini juga gue nemuin passion gue: food. Gue memang suka makan dari kecil dan gue ngerti banget tentang makanan dan minuman. Gue pikir, kenapa nggak gue satuin aja skill dan kesukaan gue ini? Gue akhirnya belajar sedikit-sedikit tentang food and beverages. Gue kerja di salah satu coffee shop demi belajar tentang kopi dan teh. Makin lama makin kuat keinginan gue untuk jadiin ini sebagai hidup gue kelak. Dalam pikiran gue: ini yang gue cari.

Ketika gue dihadapkan pada satu kata laknat yang dibenci hampir 80% mahasiswa di dunia, yaitu skripsi, gue justru excited. Gue tuangkan passion, kesukaan, skill, dan segala kemampuan gue buat skripsi gue ini. Gue dengan senang hati ngerjain skripsi ini. Saking detailnya bahan skripsi gue, dosen penguji udah nggak nanya yang macem-macem lagi dan puji Tuhan gue bisa dapet nilai yang bikin gue lompat-lompat girang.

Kalo ada lagi orang yang nanya sama gue: Kalau sudah besar mau jadi apa?
Gue bakal senyum aja. Who knows? Gue nggak pernah kepikiran untuk menggeluti bidang food and beverage, bahkan bela-belain kerja di berbagai tempat cuma untuk mencuri ilmu.
Gue bakal jadi sebaik-baiknya gue dan gue pasti senang.

Friday, August 15, 2014

My Personal Emotional Disorder

Silence is gold.

Seharusnya itu prinsip gue kali ya. Banyak banget momen-momen yg gue sesalin karena gue salah ngomong atau diem aja di saat yang nggak tepat. I mean, kadang gue nggak ngerti waktu yang tepat buat ngomong atau diem. Kadang kebalik--seharusnya gue diem aja, nggak usah nanggepin perkataan orang... eh malah gw bacotin. Kadang nih, seharusnya gue ngomong, tapi karena terlalu pengecut gue malah diem aja.

Banyak kejadian yang akhirnya bikin gue sering mikir "Anjir... andai ada CTRL+Z...." Eh--maksud gue "Seandainya gue bisa ngulang waktu." Maklum anak desain, gue selalu mikir seandainya dunia gue ini bagai Photoshop. Semua bisa diubah semau jidat gue.

Gue ngerasain "penyakit" gue ini nggak hanya nyusahin, tapi makin menekan gue. Gue sering kali tertekan. Karena sikap gue yang merugikan ini, banyak orang yang akhirnya salah sangka sama gue dan akhirnya gue di cap macem-macem. Di setiap komunitas image gue tuh beda-beda. Kadang gue dikira anak alim, lurus, kaku sampe-sampe orang-orang disekitar gue ogah main sama gue karena image gue itu. Paling buruk ya gue dikira bad girl. Itu semua bukan gue. Yang mereka bicarakan itu bukan diri gue.

Ini terlebih gue rasakan beberapa bulan ini. Gue pikir setelah berusaha lamaaa banget dan setelah gue nemuin temen-temen yang emang mengerti gue, gue udah bisa ngurangin emotional disorder gue ini. Damn... what a life! Gue ngerasain hal yang sama lagi sekarang. Ternyata berubah itu nggak bisa instan ya.

Thursday, August 14, 2014

That Piece I Wish I Didn't Needed

Hold still right before we crash 'cause we both know how this ends
A clock ticks till it breaks your glass and I drown in you again
'Cause you are the piece of me I wish I didn't need
Chasing relentlessly, still fight and I don't know why
If our love is tragedy, why are you my remedy?
If our love is sanity, why are you my clarity?




Satu paragraf yang mungkin 80% orang-orang di dunia hapal. Lirik lagunya Clarity by Zedd ft. Foxes. Tapi mungkin kebanyakan orang cuma menikmati "ajep-ajep"nya sambil goyang-goyang kepala daripada menikmati liriknya. Meski begitu gue akuin, lagunya enak buat didengerin apalagi kalo lagi kejebak macet.

But I don't want to write about the music. The music indeed awesome (and hey, I love Zedd too!) but I'm talking about the lyric. Gue termasuk orang-orang yang menikmati musik nggak hanya dari dentuman suaranya atau indahnya melodi lagu tersebut, tapi gue juga seorang pemerhati lirik lagu. Banyak lagu yang sebenernya biasa aja, tapi gue suka liriknya... so it goes to my playlist! :D

Jujur, gue nggak begitu meratiin arti dari lirik Clarity ini sampai suatu saat lagu ini diperuntukkan buat gue... dari seseorang.
Kalo diperhatiin lirik lagu ini tentang dua orang yang saling mencintai tapi karena terhalang sesuatu yang mustahil, tapi tetep dipaksain untuk "yaudah deh, jalanin aja dulu. Gimananya entar ya entar aja". Istilahnya pasrah sama something crazy you called love. Sesuatu yang mustahil yang gue bicarakan disini masih luas artiannya. Dan gue yakin di luar sana banyak yang mengalami hal kayak gini. Kayak lagu ini, pasrah sama kegilaan cinta.

Dua orang temen gue pacaran untuk waktu yang lama (sampe sekarang malah) padahal mereka berbeda keyakinan. And I know it's not easy if they--one day--decide to change their religion to another. "Ya gue sih jalanin aja dulu." Begitu katanya. Satu kalimat langsung ngebuat gue malas nanya lebih lanjut. Beberapa bulan lalu gue juga denger di radio--acara malam by the way, so it's more frontal--ketika gue mau jemput bokap dari bandara. Pas nungguin bokap, gue dengerin ada seorang cowok curhat di section itu. Dia suka sama sahabatnya sendiri, temen baik dari kecil. Semuanya sama; hobi, selera game, makanan kesukaan, kebiasaan, sampe jenis kelamin. Ya, cowok itu suka sama sahabatnya sesama cowok. Dia ngaku itu terjadi begitu aja dan dia tau sahabatnya ini normal. "Gue cuma pengen bareng dia. Let it flow aja meski sakit sih," katanya pas ditanya sama penyiar radio.
Masih inget cerita Twilight? Vampir dan manusia. Akhirnya salah satu harus berkorban.

Kalo lo tau bakal nyakitin hati, kenapa dari awal lo lakuin?

That's a common question for those kind of things. "Udah gatau lagi harus apa", "Udah terlanjur sayang", "Ya mau gimana lagi". Those reasons are stupid for me. But yeah, jangan lupa--kayak yang gue tulis diatas, lirik Clarity itu juga diperuntukkan buat gue. -_- (aww yeah shit like hell.)
Jarak mungkin hal yang paling kita berdua benci. Nomor dua mungkin traditional custom yang kita punya. Time zones are the third. Start yang salah, age, gender, jobs, perspective... yah itu embel-embel ajalah. Mungkin ini giliran gue untuk bilang "Ya mau gimana lagi."


If our love is sanity, why are you my clarity?