Saturday, September 20, 2014

Cinta dan Saya

Lima..

Tujuh..

Delapan...

Sembilan tahun.
Atau mungkin lima belas. Mungkin lebih. Waktu yang gue butuhkan untuk belajar tentang sesuatu yang gila bernama cinta. Mostly gue baru sadar ketika gue udah di dasar, sehabis jatuh habis-habisan, terluka, dan berlagak sok kuat.



Cinta dan keluarga.
Nggak akan pernah cukup untuk gue belajar mencintai keluarga gue dan segala kekurangan kelebihannya. Yang gue tahu, selamanya gue gak akan bisa mengganti keluarga gue---suka atau nggak. Udah nggak terhitung lagi berapa banyak drama yang terjadi di rumah ini, tapi kami selalu berakhir dengan tawa. Kesederhanaan bisa menyenangkan. Disaat tahun baru diwarnai dengan hiruk pikuk keramaian kami bisa berkumpul bersama walau cuma sekedar makan makanan cepat saji (karena cuma restoran itu yang buka 24 jam). Cinta gue ke keluarga mungkin kayak obat. Gue benci minum obat, tapi gue tahu itu mendatangkan kebaikan buat gue. Tapi obat pun banyak rasanya. Jadi---meski kedengaran gila---gue suka-suka aja tuh makan obat.

Cinta dan Kekasih.
Tanya gue tentang ini lima tahun lalu. Jawaban gue bakal 180 derajat beda. Dulu gue nggak akan masalah, anyone will do. Tapi sekarang ini gue bergidik geli.
Wajah.
Penampilan.
Kata-kata.
Janji-janji.
Gue rasa itu cuma bedak dan maskara bagi para pria di luar sana. Sama kayak "make up", ulasan bb cream dan eye liner pun bisa menipu dan ngubah sama sekali wajah asli si pemakai. Jadi gimana caranya supaya bisa liat aslinya orang itu? Jujur gue pun nggak tahu, dan mungkin itu sebabnya gue cenderung bangun tembok bagi diri sendiri. Menarik diri sendiri. Nggak peduli sama siapa pun.

Apa yang orang-orang bilang tentang cinta sejati belum pernah gue alami. Gue cuma punya satu teori tentang itu. Gue pun sering memakai "make-up" yang akhirnya menyembunyikan jati diri gue sendiri. Gue bisa senyum tanpa ada alasan untuk tersenyum, gue bisa bersandiwara sehebat-hebatnya tanpa ada seorang pun yang tahu apa yang lagi lari-lari di pikiran gue. Gue menciptakan "make-up" gue sendiri. Mungkin inilah yang jadi semacam tanda bagi gue, disaat seseorang bisa mengerti lekuk mata gue tanpa melihat eye-liner gue, bisa memahami lesung pipi gue tanpa bantuan blusher revlon yang mahal, dan tahu segalanya seakan gue adalah tulang rusuknya..... mungkin... mungkin saat itu gue bakal tahu dia cinta sejati yang dibicarakan orang-orang itu.

Mungkin.

No comments:

Post a Comment